Tampilkan postingan dengan label cerita anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita anak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 April 2014

Ikan dan burung

Di sebuah hutan hiduplah dua binatang yang saling bersahabat. Binatang itu adalah burung dan ikan. Keduanya sangat dekat dan selalu saling membantu. Kedekatan keduanya ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui suatu kejadian yang mengubah mereka. Waktu itu ikan sedang beristirahat di pinggiran sungai. Ia memandangi biji-bijian di pohon tepat di atasnya. “Kelihatannya biji-bijian itu enak dimakan” kata ikan dalam hati. Ia lalu berusaha meloncat setinggi-tingginya untuk mendapatkannya. Berkali-kali ia meloncat, namun tidak berhasil mencapai biji-bijian itu. Ia hanya bisa memandangi biji-bijian itu. Saat sedang memandangi biji-bijian itu, perhatiannya teralihkan oleh seekor burung yang berterbangan ke sana-kemari. “Tuhan, kenapa Engkau tidak memberiku sayap untuk terbang agar aku bisa meraih biji-bijian itu?” Kata si ikan dalam hati. Kita tinggalkan si ikan dan beralih ke burung. Setelah beterbangan, burung lalu hinggap di salah satu dahan pohon di pinggir sungai untuk beristirahat. Saat itu ia melihat ke air. Di dasar air sungai itu ia melihat banyak sekali cacing bergeliatan. “Kelihatannya cacing-cacing itu enak dimakan.” Kata burung dalam hati. Ia lalu berusaha masuk ke dalam air untuk menyelam dan menangkap cacing-cacing itu. Namun, ia tidak berhasil karena ia tidak bisa berenang. Ia lalu hanya bisa memandangi cacing itu dari atas pohon. Saat sedang memandangi cacing-cacing di dalam air, perhatiannya teralihkan pada ikan yang sedang berenang di dalam air. “Tuhan, kenapa Engkau tidak memberiku ekor dan sirip untuk berenang agar aku bisa meraih cacing-cacing dalam air itu?” kata si burung dalam hati. Akhirnya ikan dan burung saling tahu kesulitan masing-masing. Berkali-kali si ikan melihat burung menyelam ke air untuk mendapatkan cacing. Demikian pun si burung berkali-kali melihat ikan meloncat-loncat untuk mendapatkan biji-bijian. Lalu mereka berkenalan. “Hei ikan, apakah kau menginginkan biji-bijian ini? kata burung. “Benar, tapi aku tidak punya sayap sepertimu sehingga tidak bisa terbang mendapatkan biji-bijian itu.” jawab si ikan. “Aku juga menginginkan cacing di dasar sungai, tapi aku idak punya sirip sepertimu sehingga tidak bisa mendapatkan cacing-cacing itu.” balas si burung. “Gimana jika kau membantuku mengambil biji-bijian itu dan aku akan membantumu mendapatkan cacing-cacing di dasar sungai.” Ajak si ikan. “Wow ide bagus, aku setuju.” Sahut si burung. Akhirnya ikan dan burung menjadi sahabat dan saling membantu.


Posted via Blogaway

Minggu, 27 April 2014

Kelinci pembohong

Di padang rumput nan hijau, hiduplah seekor kelinci yang sangat nakalm, setiap hari kerjaannya mengusili penghuni padang rumput. Pada suatu hari, si kelinci ketemu pak kijang. Dalam hati kelinci berpikir “saya kerjain saja Pak Kijang, tapi bagaimana ya?” Si kelinci berpikir keras dan tiba-tiba ide nakal sampai di kepalanya. “Saya pura-pura saja lari Pak Kijang sambil berteriak ‘pak singa ngamuk’”. Maka sambil larilah, Si Kelinci sambil berteriak “Pak Singa ngamuk! Pak Singa ngamuk!”, akhirnya pak kijang sekeluarga lari tak beraturan, sampai anaknya Pak Kijang jatuh ke jurang. Puaslah hati Si Kelinci, berbahak-bahak dia, “kena saya kerjain Pak Kijang”. Begitu bangganya Si Kelinci, “cerdas juga saya” Congkak si kelinci. Si kelinci melanjutkan jalan-jalannya sambil mencari korban berikutnya. Dari kejauhan, Si Kelinci melihat Pak Kerbau. Dia pun melakukan hal yang sama seperti pada Pak Kijang. “Pak Singa ngamuk! Pak singa Ngamuk” teriak Si Kelinci, sambil berlari ke arah Pak Kerbau sekeluarga. Terang saja Pak Kerbau langsung lari terbirit-birit sampai istri Pak Kerbau yang lagi hamil, keguguran. Duka Pak Kerbau jadi suka cita Si Kelinci. Hari berikutnya Pak Kijang bertemu Pak Kerbau, mereka menceritakan kejadian yang mereka alami kemarin. Selagi mereka asik membahas masalah yang menimpa keluarga mereka yang disebabkan oleh Si Kelinci, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan Si Kelinci dari kejauhan, “Tolong, saya dikejar-kejar Pak Singa, Pak Singa ngamuk! Tolong, tolong, tolooong!,” tapi tidak ada yang perduli, “ah, paling-paling Si Kelinci lagi-lagi membohongin kita” pikir mereka. Sekuat tenaga Si Kelinci menghindari kejaran Pak Singa, tapi apalah daya, Pak Singa lebih cepat larinya, akhirnya Si Kelinci mati dikoyak-koyak Pak Singa dan tidak ada yang perduli.


Posted via Blogaway

Jumat, 25 April 2014

Ratu bulan

Suatu hari, salah satu teman Hou I menceritakan tentang “Pil Abadi” Hou I langsung mengirim utusannya untuk mendapatkan pil tersebut untuknya dari Ratu Barat. Sang Ratu tinggal sendirian di atas sebuah gunung yang tinggi. Dia sangat jelek, giginya panjang dan tajam seperti harimau, dia juga memiliki sembilan buah ekor. Dia menghabiskan waktu membuat obat dari rumput, daun dan bunga. Pada awalnya, dia tidak ingin memberikan pil itu pada hamba Hou I. Ketika ia mengatakan siapa tuannya itu, ia menjadi takut. Dia cepat menyerahkan pil tersebut kepadanya. “Katakan pada majikanmu bahwa pil ini sangat kuat?” Katanya. “Dia tidak boleh memakannya pada saat bulan purnama. Jika dia melakukannya, dia akan terbang langsung ke bulan.” Hou I sangat senang mendapatkan pil tersebut. Istrinya menyimpannya di sebuah lemari di kamarnya. Suatu malam, saat dia menatap bulan purnama, ia tiba-tiba memutuskan untuk memakan pil tersebut. Tubuhnya terasa menjadi ringan dan injakannya meninggalkan tanah. Dia mulai mengambang di langit menuju bulan. Ketika suaminya melihat kejadian tersebut, ia mencoba untuk menjatuhkannya dengan busur dan anak panah. Tapi dia sudah terlalu tinggi. Dalam waktu singkat, dia mendarat di bulan. Dia merasa sangat dingin dan kesepian. Dia pun memikirkan suaminya setiap hari dan ingin kembali padanya. Tapi tidak ada jalan bagi dia untuk melakukannya. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah kecil di mana dia tinggal sendirian.


Posted via Blogaway

Kamis, 24 April 2014

Petualangan Aira

“Halo, selamat pagi!“ Sang mentari menyapa dengan ramah. Sinarnya yang keemasan perlahan-lahan mulai mengelus wajah bumi. Penghuni bumi mulai merasakan kehangatannya. “Ah…… segarnya pagi ini.” Aira terbangun dari tidurnya dengan wajah berseri –seri. “Selamat pagi Embuni! Selamat pagi Kupu-kupu“, sapanya dengan ramah. Aira adalah setetes air. Ia bertengger di atas sehelai daun melati. “Aira, hari ini kamu lebih cerah dari biasanya,” kata Kupu-kupu. “Apakah kesedihanmu sudah hilang? Apa obatnya?“ Tanya Embuni. “Aku tidak bersedih lagi. Hari ini Ibu akan mengajakku untuk melihat dunia dan menunjukkan kepadaku betapa berartinya aku.” Kemarin, Aira bersedih. Ia merasa tidak berarti. Ia tidak seperti Lebah yang menghasilkan madu.. Ia tidak bisa terbang. Ia juga tidak seperti bunga yang berbau harum. Ia hanyalah setetes air yang akan lenyap bila terkena panas matahari. Hal inilah yang mengganggu pikirannya berhari – hari, sehingga ia selalu nampak murung. Namun, hari ini ia gembira karena ibunya akan mengajaknya memulai petualangan baru. “Kapan kita mulai berpetualang, Bu?” tanyanya tak sabar kepada Ibunya. “Sebentar lagi. Kita tunggu sampai sinar matahari mengenai tubuhmu.“ “Tapi Bu, Bukankah tubuh kita bila kena sinar matahari akan lenyap? Lalu…..?” “Sabarlah! Nanti akan ibu ceritakan“ kata Ibunya dengan senyum penuh arti. Saat yang dinantikan tiba. Perlahan sinar Sang Surya mulai menyentuh tubuh Aira. Aneh! Tubuhnya terasa sangat ringan! “Ibu, mengapa tubuhku sangat ringan?“ “Anakku, karena terkena panas tubuh kita berubah bentuk menjadi uap air. Coba rasakan! Tubuhmu ringan bukan?” “Betul, Bu! Hei, lihat aku terbang! Aku melayang“ Aira berteriak kegirangan. Ia tidak pernah membayangkan bisa terbang seperti kupu-kupu. “Tubuhmu melayang karena terbawa angin“ Aira merasakan tubuhnya semakin ringan dan melayang. Semakin tinggi dan tinggi. “Ibu, kita akan kemana?“ “Anakku, kau lihat gumpalan awan putih itu?” “Yang seperti kapas, Bu? Wow, indah sekali!” “Mereka adalah sekumpulan saudara-saudaramu. Ke sanalah kita akan bergabung“ Dengan senang hati Aira mengikuti Ibunya bergabung dengan saudara-saudaranya lain. membentuk awan putih. Tak henti-hentinya ia menyanyi. Kemudian bersama-sama saudaranya yang lain Aira melanjutkan perjalanan. Mereka melayari langit biru, melintasi puncak gunung dan bukit. Dari ketinggian angkasa Aira menyaksikan bumi yang elok mempesona. Sawah menghijau seperti hamparan permadani berlapis berlian yang berkilau. Sungai meliuk –liuk seperti ular. Ketika mereka berada di atas gunung, Aira merasakan gumpalan itu semakin berat. Aira kedinginan karena angin bertiup kencang. Awan berubah menjadi hitam. “Ibu, aku takut!“ “Tenang, anakku! Sebentar lagi kita akan turun membasahi bumi.” “Bagaimana caranya? “ Angin kencang akan menerbangkan kita. Kemudian kita semua akan turun serempak. Manusia menamai kita hujan“ Belum selesai Ibunya berbicara, mereka dengan cepat dan serempak turun di bumi. “Wow, asyik Bu! Seperti main dengan papan luncur,” Aira tertawa kegirangan. Wajahnya bertambah ceria ketika melihat Pak Tani menyambut kedatangan hujan dengan gembira. Rupanya kedatangan mereka sudah dinantikan. Aira mendengar mereka berkata: “Hujan turun. Sudah tiba saatnya bagi kita untuk menanam.” “Ya, dengan turunnya hujan sawah kita tidak kering lagi.” Aira senang mendengar perkataan itu. Rupanya dirinya dapat menyuburkan tanah Pak Tani. Perjalanan Aira berlanjut. Kali ini ia tiba di atas rumah yang mungil. Seorang anak perempuan berteriak, “Mama,hujan turun. Tidak lama lagi bunga – bunga kita akan mekar!“ suara itu terdengar ketika Aira berada di atas tanah. Dengan tersenyum Aira merasakan kegembiraaan anak itu. Sebelum meresap ke dalam tanah sekali lagi ia menatap wajah anak itu. Wajah anak perempuan itu berseri ketika mengamati bunga-bunga di taman yang baru kuncup. Tidak lama kemudian Aira melewati lorong yang gelap dan lembek. “Bu, tempat apa ini?“ “Anakku, kita meresap ke dalam tanah. Sebentar lagi kita akan keluar dan menjadi mata air.” Aira mengikuti rombongan ibunya dengan seribu pertanyaan. Pengalaman apa lagi yang ia alami? Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Aira melihat setitik cahaya. Ia dan keluarganya menuju ke arah cahaya itu. Tak lama kemudian mereka menerobos cahaya dan hei.. apakah itu? Aira heran karena setelah keluar dari tanah mereka berkumpul dengan rombongan air lainnya. Mereka sangat banyak dan menempati kolam yang sangat luas dan panjang serta berkelok-kelok. “Aira, disinilah keluarga kita, keluarga air, bertemu. Ini adalah sungai.” “Apakah keluarga kita disini semua, Bu? Perjalanan berhenti sampai disini?” “Tidak, anakku. Keluarga besar kita berpencar. Ada yang di sumur, ada yang di danau dan di tempat lainnya. Mari kita lanjutkan petualangan kita“ Aira melanjutkan petualangannya. Ia menjadi air sungai. Mengalir menuruni punggung gunung. Ia rasakan hawa sejuk pegunungan. Ia rasakan kecipak air akibat gerakan ikan-ikan yang berenang disekitarnya. Ia rasakan kaki-kaki anak kecil yang berenang dan mandi dengan airnya. Ia dengarkan sendau gurau para ibu yang mencuci sayuran di atas permukaannya. Wah, banyak lagi yang ia rasakan dan saksikan! Betapa bahagianya Aira! “Ibu, aku sangat senang sekarang. Ternyata aku sangat berarti. Banyak orang yang membutuhkan kehadiranku.” “Syukurlah, anakku. Jadi mulai saat ini janganlah berkecil hati. Sekecil apapun kita, selemah apapun kita, kita masih dapat berguna bagi orang lain, selama kita melakukan tugas kita dengan sungguh-sungguh.“ “Terimakasih, Ibu. Banyak pengalaman dan pelajaran yang kuterima hari ini! “Dengan sukacita Aira melanjutkan perjalanan hidupnya. Teman – teman ingin bertemu dan berkenalan dengan Aira? Bangunlah pagi-pagi dan temukanlah ia di balik dedaunan! Mungkin ia disana. Atau mungkin ia mengalir dengan riang di sepanjang sungai yang mengalir di belakang rumahmu. Sampaikan salam padanya dan jangan lupa berilah ucapan terimakasih kepadanya karena sudah menghidupi bumi. Berjanjilah untuk tetap menjaga kelestarian alam yang sangat dicintainya. Niscaya, ia akan menyambutmu dengan senyum yang paling cantik. Dan ia merasa berbahagia.


Posted via Blogaway